Pikiran Yang Korup

oleh -264 Dilihat
oleh

LensaKita.co.id —- Tangerang 18 May 2025, Peribahasa “desa mawa cara, negara mawa tata” mengandung makna bahwa setiap desa memiliki adat istiadat atau tata cara yang berbeda-beda, sedangkan negara memiliki hukum atau tata aturan yang berlaku secara umum.

Perbedaan adalah karunia Tuhan yang harus dikelola bersama untuk kesejahteraan bersama. Selain itu kebhinnekaan adalah “kodrat kehidupan manusia” yang harus disyukuri. Perbedaan dan keberagaman akan terus ada di lingkungan hidup kita sampai akhir jaman, sampai kiamat terjadi.

Ini sudah menjadi ketentuan Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta. Bangsa Indonesia wajib bersyukur atas kebhinnekaan yang dilimpahkan Tuhan kepada seluruh bangsa. Bersyukur diwujudkan dalam sikap mental-kultural dan tata kelola berbangsa dan bernegara untuk kemaslahatan seluruh ummat manusia baik bangsa Indonesia ataupun bangsa-bangsa di dunia.

Hal ini semuanya sudah dituangkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 Alenia pertama sampai Keempat. Para ksatria dan seluruh rakyat Indonesia tinggal bersama-sama menjadikan ini sebagai komitmen (kesepakatan bangsa yang dituangkan dalam peraturan perundangan dan kebijakan publik) untuk dijalankan.

Keberagaman Indonesia harus menjadi hikmah yang dikelola untuk kesejahteraan bersama secara berkeadilan. Menggali kearifan lokal dan nilai-nilai luhur bangsa untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi satu keniscayaan dalam negara yang Bhinneka ini.

Pembangunan karakter bangsa harus menjadi prioritas dalam pembangunan nasional untuk memutus mata rantai korupsi, penyakit masyarakat yang sudah mewabah di seantero Nusantara.

Pikiran yang korup mengakibatkan perilaku yang korup menurut Kwik Kian Gie. Ini adalah kegagalan nation and character building, termasuk di dalamnya pembangunan manusia Indonesia di bidang pendidikan karakter.

Hilangnya pendidikan akhlak (budi pekerti) telah menggerus kualitas mental-kultural bangsa terutama generasi muda yang lebih mengidolakan kehidupan serba instant dan materialistik. Kearifan lokal dan nasional telah terkikis akibat kemerosotan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.

Amanah lagu kebangsaan Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya” belum terwujud dan belum sepenuhnya dipahami atau mungkin tidak penting untuk dipahami oleh para penyelenggara negara. Individualisme semakin menguat, dan nalar bernegara dan rasa kebangsaan semakin memudar.

Kohesi sosial-budaya melemah, Kondisi seperti ini apakah akibat “abai dan lalai” atau memang “by design” dalam perang modern yang sedang berlangsung saat ini.

Hal ini masih menjadi perdebatan. Tetapi yang jelas terjadi adalah persoalan korupsi yang masih meluas dan merajalela, ketimpangan ekonomi dan sosial, penguasaan SDA oleh oligarkhi, kemiskinan masih menjadi tantangan, pemanfaatan hukum sebagai alat kekuasaan, demokrasi permusyawaratan yang masih menjadi impian, menunjukkan negara dan bangsa tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Pikiran yang korup mengakibatkan sistem yang direkayasa agar memungkinkan adanya peluang atau kesempatan untuk korupsi, untuk penyimpangan melalui “manipulasi peraturan perundangan” untuk kepentingan tertentu.

Tujuan mulia pembangunan “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” sudah terlupakan bahkan cenderung dilupakan karena para politisi sudah “terperangkap” dalam sistem yang “short sighted” dalam penggalan-penggalan lima tahunan.

Dalam sistem politik yang cenderung berpikir jangka pendek lima tahunan ini bagaimana bisa menjamin tercapainya tujuan jangka panjang seperti Indonesia Emas 2045? Sistem yang dibangun sudah terkooptasi dan para penyelenggara negara sudah nyaman dalam pelukan kesementaraan pembangunan. Banyak pendapat yang mengatakan ini semua akibat perubahan UUD 1945 menjadi UUD 2002 melalui amandemen empat kali di era reformasi.

Sudah saatnya mengevaluasi secara total era reformasi yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun ini sebelum bangsa semakin jauh dan bias dari cita-cita nasional sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945: menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Untuk banting stir arah dan kebijakan pembangunan saat ini diperlukan pemimpin dan kepemimpinan yang kuat (strong leader and leaderships) yang visioner dan paham betul secara lahir bathin amanah Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, Pemimpin yang istiqomah dan mempunyai komitmen yang konsisten bagi kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.

Pikiran yang korup yang menjangkiti bangsa ini harus diputus mata rantainya melalui pendidikan yang mengutamakan Budi pekerti mulai dari pendidikan usia dini sesegera mungkin.

Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) memang penting untuk dikuasai agar bisa berlomba di kancah global, tetapi modal kultural harus juga diperkokoh melalui pendidikan Budi pekerti untuk memperkokoh karakter bangsa.

Design pendidikan nasional menjadi sangat mendesak untuk dibenahi agar pendidikan yang berkebudayaan dapat segera dilakukan. Berkepribadian dalam kebudayaan menjadi fondasi ketahanan budaya yang saling memperkokoh bersama kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi dalam pembangunan peradaban bangsa.

Untuk mengatasi persoalan korupsi yang masih menjadi “pandemi korupsi” diperlukan shock therapy terhadap para koruptor agar jera melalui tindakan hukum yang tegas dan tidak tebang pilih. Lembaga KPK harus diperkuat dan kontrol masyarakat (rakyat) juga diperkokoh.

Pergerakan Anti Korupsi menjadi salah satu opsi penting untuk mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Komunitas Anti Korupsi (Komantikor) menjadi sangat penting dan strategis untuk diperkuat sebagai “prime mover” gerakan pemberantasan korupsi sampai keakar-akarnya, untuk terus menyerukan jihad melawan korupsi.

Berjuang bersama para anak bangsa berjihad melawan kebathilan akibat pikiran yang korup melalui pendidikan budi pekerti sejak dini, membangun sistem yang transparan dan berkeadilan, menegakkan hukum, dan sebagainya.

Beberapa tuntunan para leluhur kita mungkin menarik untuk digali terus bagaimana aplikasinya dalam dunia modern ini, seperti:
1. Pancasila dalam implementasi
2. Bhinneka Tunggal Ika tan hana Dharma mangrwa;
3. ⁠Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung;
4. ⁠Ing arso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani;
5. ⁠Jer basuki mawa bea;
6. ⁠Mamayu hayuning bawana;
7. ⁠Suradira Jayaningrat lebur dening pangastuti;
8. ⁠Hasta Brata;
9. ⁠Gotong-Royong;
10. ⁠Dan masih banyak lagi kearifan lokal yang harus kita kumpulkan lagi untuk merumuskan bagaimana peran pemerintah pusat dan daerah. Dalam memajukan kesejahteraan umum, dst sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

 

Sumber : Rilis Prasetijono Widjojo MJ.

No More Posts Available.

No more pages to load.