Prasetijono Widjojo MJ
LensaKita.co.id — Negara dan bangsa ini sudah amburadul. Pembangunan negara (state building) dan pembangunan bangsa (nation building) sudah semakin berantakan.
Para elit sepertinya melihat masalah tersebut enteng-enteng saja. Pilpres, Pileg, dan Pilkada seakan menjadi rutinitas ritual dalam kancah politik. Belum tampak adanya “niat” untuk memperbaiki demokrasi yang sudah diacak-acak.
Demokrasi yang mengabaikan moral-etika, demokrasi yang didikte oleh uang, demokrasi yang dikendalikan oleh kekuatan modal, demokrasi yang berpihak kepada oligarkhi, yaitu demokrasi kekuasaan, demokrasi yang berdasar pada kepentingan.
Arah pembangunan negara bangsa ditentukan oleh sinergi kepentingan sesaat dan kepentingan kelompok atau golongan.
Sistem politik berjalan sesuai kepentingan (pragmatism). Biaya politik yang bersifat transaksional menjadi sangat mahal dan membebani rakyat. Kemudharatan terjadi di segala lini dan semakin menyusahkan rakyat.
Pikiran yang yang sudah terkena virus korup mewabah di ranah politik dan nampaknya belum ditemukan vaksin yang mujarab.
Sementara sebagian rakyat (kelompok menengah kebawah) masih berkutat dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya setiap hari. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan harus rela sebagai “obyek pembangunan” yang setiap saat hanya berpikir konsumtif, jauh dari kapasitas untuk menolong diri sendiri, “self-help” seperti kata Bung Hatta.
Walaupun masyarakat miskin dibantu dengan Bansos, BLT, maupun bantuan lainnya mereka juga belum kunjung keluar dari kemiskinan secara signifikan. Sepertinya diperlukan transformasi program Bansos agar mampu mendorong produktivitas dan kemampuan masyarakat miskin untuk mampu menolong diri mereka sendiri. Program yang meningkatkan “self-help” dan ada exit strategy yang terukur.
Sejarah mencatat, akibat Amandemen UUD 1945 empat kali ketika Amin Rais sebagai Ketua MPR bahtera bangsa telah kehilangan arahnya.
Nahkoda bangsa berlayar tanpa haluan, hanya didorong oleh angin buritan. Mereka bekerja keras namun tetap saja seperti jalan ditempat dan terombang-ambing oleh gelombang globalisasi yang melanda dengan dahsyat ke seantero dunia.
Saat ini bangsa Indonesia membutuhkan kapal “nabi Nuh” untuk menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan yang semakin menjauh dari cita-cita nasional sebagai negara yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Apabila pikiran sudah korup bagaimana akan menyelenggarakan pembangunan bangsa dengan baik.
Akhirnya kemudaratan yang terjadi. Apa kata Lord Acton masih berlaku: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Sementara baik rakyat maupun para pemimpin masih dihinggapi penyakit “mental-kultural”, sebagai budak, mental dijajah. Para elit dijajah pikirannya dan rakyat jelata dijajah perutnya.
Penyakit mental-kultural yang sudah mewabah di negeri tercinta. Penyakit yang menyebar akibat perang modern (generasi keempat) dan tumbuh subur di taman yang dipenuhi oleh benalu dan parasit yang terus menggerogoti di tengah kemarau panjang.
Adanya berbagai ancaman bahaya di depan mata sepertinya belum ada yang menyikapi secara serius ataupun merespon dengan langkah-langkah apa. Bagaimana kontijensi plannya.
Problem yang sudah tampak, antara lain:
1. Perang Israel-Palestina-Iran yang berkelanjutan akan berdampak kepada terjadinya krisis energi dunia. Hal ini akan berdampak langsung kepada meningkatnya tingkat inflasi dan kemiskinan.
2. Perang Russia-Ukraina akan berdampak kepada ketersediaan pangan (khususnya gandum, biji-bijan, cereal, dll). Krisis pangan sudah di depan mata, sementara Indonesia masih terus berjuang memenuhi ketersediaan pangan khususnya beras, dan juga impor gandum dan kedelai.
3. Perubahan iklim sudah nyata dampaknya terhadap musim yang tak beraturan. Sebagian dilanda bencana badai dan banjir, sebagian lainnya mengalami kekeringan dan kekurangan air. Ketidak beraturan musim akibat perubahan iklim sudah semakin serius.
4. Ancaman megathrust yang sudah diingatkan oleh BMKG sepertinya belum dimitigasi dengan optimal.
5. Krisis kepemimpinan yang sedang berlangsung akan membuat bahtera Indonesia tak menentu arahnya. Apalagi pemimpinnya korup.
6. Krisis moral etika juga sudah meluas di kalangan para penyelenggara negara, dimana hukum telah dijadikan alat kekuasaan.
Hukum yang seharusnya memberikan keadilan dan manfaat sesuai nilai-nilai Pancasila sepertinya masih jauh dari harapan. Demokrasi yang sejiwa dengan sila keempat Pancasila sepertinya belum bisa diwujudkan.
Faktor ancaman yang dihadapi tersebut (politik, ekonomi, budaya, hukum, dan ALAM Semesta) menuntut adanya leadership yang kuat dan tidak memble. Selain itu dituntut pula perubahan sikap mental-kultural (kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, dan kerja yang bermanfaat) sehingga bahtera bangsa tidak terombang-ambing oleh gelombang globalisasi yang menyeret semakin jauh dari cita-cita bangsa.
Kemudaratan harus dirubah menjadi kemanfaatan, Para pemimpin harus bisa menjadi contoh yang baik bagi rakyat (keteladanan).
“Apabila hal ini diabaikan dan dilalaikan maka apa yang bisa diharapkan oleh seluruh rakyat ketika bahtera bangsa berlayar menuju Indonesia Emas 2045. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, Semoga kita termasuk hamba Allah yang dilindungi dan mendapat petunjukNya. Aamiin YRA, Tutup nya.**
Penulis : Prasetijono Widjojo MJ
PWMJ-03102024
Editor ‘ Eman Melayu