Dugaan Penyerobotan, Akademisi Hukum Adat Tanggapi Dugaan Kriminalisasi Jurnalis 

oleh -199 Dilihat
oleh

LensaKita.co.id –– Akademisi sekaligus pakar Hukum Adat dan Hukum Hindu, Dr. I Ketut Widia, SH, MH, angkat bicara terkait dugaan kriminalisasi terhadap seorang jurnalis di Kabupaten Jembrana, Propinsi Bali.

Saat ini perkaranya telah memasuki Tahap II dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jembrana dengan sangkaan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kasus ini bermula dari sebuah laporan investigatif yang ditayangkan oleh Media CMN. Dalam laporan tersebut, jurnalis bersangkutan menyoroti dua dugaan pelanggaran serius:

Penyerobotan garis sempadan Sungai Ijogading oleh sebuah SPBU, yang kemudian dikonfirmasi melanggar oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida.

Pelanggaran tata ruang kota, di mana SPBU yang mengantongi SKTR, diduga menyalahgunakan izin peruntukan non-bisnis untuk mendirikan penginapan di area belakang SPBU.

Namun ironisnya, alih-alih laporan ini ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum sebagai informasi publik, justru jurnalis yang menulis laporan tersebut kini menghadapi proses hukum pidana.

Dalam tanggapannya pada Sabtu (19/7/2025), Dr. I Ketut Widia menyampaikan keprihatinan atas proses hukum yang dijalani sang jurnalis,padahal jurnalis adalah kontrol sosial kalaku Memang melanggar kenapa harus di pidanakan ada hak jawab dan ada hak tolak.

“Seorang wartawan yang melaksanakan swadarmanya, yakni kewajiban profesinya dalam menyuarakan kepentingan publik, seharusnya tidak serta-merta ditarik ke ranah pidana,tegasnya.

Dalam kamus hukum, istilah ‘kriminalisasi’ memang tidak dikenal secara formil, namun dalam praktik banyak terjadi, terutama saat aparat hukum menggunakan pasal-pasal tertentu untuk membungkam suara kritis,” ujarnya.

Ia menambahkan, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, urusan yang berkaitan dengan tanah dan wilayah sempadan sungai masih tunduk pada hukum adat. Karena itu, ia merasa berkewajiban secara akademik untuk memberikan edukasi kepada masyarakat,bukan langsung di pidanakan.

Mengutip nilai-nilai dalam ajaran Hindu, Ketut Widia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan alam sebagaimana tercermin dalam konsep Tri Hita Karana. Menurutnya, perilaku menyimpang seperti merusak lingkungan, termasuk penyerobotan sempadan sungai, adalah tindakan tercela yang dapat menimbulkan kerusakan sosial dan menjadi contoh buruk bagi masyarakat.

“Ketika ada penyimpangan yang merusak sempadan sungai, lalu ada reaksi masyarakat yang diwakili oleh wartawan melalui medianya, seharusnya itu dihargai sebagai bentuk kontrol sosial. Bukan malah dikriminalisasi,” tegasnya.

Ia juga menyayangkan peran Dewan Pers dalam kasus ini. Menurutnya, keterangan Dewan Pers dalam proses penyidikan dinilai tidak objektif dan justru memperburuk posisi jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya,Seharus nya dewan pers berdiri di depan untuk membela jurnalis bukan membenamkan jurnalis.

“Wartawan ini punya kartu pers, medianya juga legal, tapi diberi label seolah-olah produknya bukan karya jurnalistik. Saya ingin ajak Dewan Pers turun ke lapangan, lihat langsung. Jangan hanya mengeluarkan pernyataan dari jauh yang justru menyesatkan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa nilai-nilai lokal Bali, seperti Nangun Sat Kerthi Loka Bali, menekankan pentingnya menjaga sumber-sumber air dan lingkungan hidup demi keharmonisan masyarakat.

Kerusakan terhadap sungai atau sumber air, lanjutnya, berpotensi menciptakan kekacauan sosial yang lebih besar.

“Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ini bisa menimbulkan krisis kepercayaan di masyarakat. Hukum bukan alat kekuasaan, melainkan jalan keadilan, sebenarnya Kapolda Bali sudah mengetahui bahwa jurnalis memiliki UUD pers yang harus di kedepankan” pungkas Dr. Ketut Widia.

 

Editor : Eman Melayu
Sumber: Pernyataan langsung Dr. I Ketut Widia, SH, MH

 

 

No More Posts Available.

No more pages to load.