Lensakita.co.id – Permohonan ini diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan dari Karimunjawa yang pernah diproses hukum karena pernyataannya di media sosial mengenai kerusakan lingkungan. Pemohon menguji dua pasal utama dalam UU ITE 2024, yakni Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) yang mengatur tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik, serta Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) yang mengatur tindak pidana hasutan kebencian berbasis SARA. Frasa-frasa yang dianggap multitafsir dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap ekspresi sah, seperti frasa “orang lain”, “suatu hal”, dan “tanpa hak”.
Pemohon juga mendalilkan bahwa UU ITE 2024 merupakan wujud nyata dari SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), yaitu upaya hukum yang dilakukan secara strategis untuk membungkam suara publik, khususnya dalam isu-isu advokasi kepentingan umum seperti perlindungan lingkungan. Permohonan ini didasari pada dugaan pelanggaran terhadap sejumlah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, antara lain hak atas kebebasan berekspresi (Pasal 28E), hak atas kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat (1)), serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H ayat (1)). Dalam pertimbangannya, Mahkamah juga mencatat bahwa frasa-frasa tersebut dapat digunakan untuk mengkriminalisasi kritik terhadap institusi publik dan membatasi ruang berekspresi warga, tanpa standar dampak yang jelas.
Berdasarkan permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi untuk sebagian. Dalam putusannya, frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum, kecuali dimaknai terbatas sebagai “kecuali lembaga pemerintah, kelompok dengan identitas tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan”. Frasa “suatu hal” dalam pasal yang sama juga dinyatakan inkonstitusional bersyarat, kecuali dimaknai sebagai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”.
Sementara itu, frasa dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) tentang distribusi informasi yang menimbulkan kebencian hanya dianggap konstitusional jika dimaknai sebagai “informasi atau dokumen elektronik yang memuat ujaran kebencian berbasis identitas tertentu, dilakukan dengan sengaja, di depan umum, dan menimbulkan risiko nyata diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan”.
→ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024, tanggal 29 April 2025.
Sumber:
https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_12530_1745894606.pdf
Salam Pancasila,
Fredrik J. Pinakunary Law Offices