Tak Mau Bertanggung Jawab,Oknum DPRD Diduga Aborsi Anak Diluar Nikah

oleh -262 Dilihat
oleh
LensaKita.co.id –– Di balik senyum dan kopiah hitam, ternyata tersimpan luka seorang perempuan muda. Bunga (nama samaran), tak menyangka perkenalannya dengan sosok religius itu akan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui hari-harinya.

Berawal dari aplikasi MiChat, Bunga mengenal seorang pria yang mengaku lajang yang belakangan diketahui ternyata anggota DPRD Kampar. Tutur katanya lembut, penuh perhatian, dan pandai merayu. Lambat laun, hubungan mereka bukan sekadar obrolan virtual. Mereka bertemu, bertukar janji, dan dibalik itu nafsu tinggi berhasil menjalin hubungan fisik berkali-kali—tanpa ikatan sah.

“Dia janji nikahi saya, saya percaya. Tapi ternyata saya hanya pelampiasan,” ujar Bunga lirih. Matanya berkaca, menahan duka yang sulit diceritakan.

Ironisnya Ketika kehamilan tak terelakkan, harapan Bunga akan rumah tangga justru hancur berkeping. “Dia malah menyuruh menggugurkan anak kami. Katanya dia sudah beristri dan ini bisa hancurkan karier politiknya sebagai anggota dewan,” dengan suara tercekat.

Di bawah tekanan mental, Bunga akhirnya menuruti permintaan itu. Ia kehilangan bayinya, dan bersamaan dengan itu, hilang pula kepercayaannya pada cinta dan agama yang selama ini ditampilkan oleh pria itu.

Ironis, oknum anggota dewan itu dikenal publik sebagai pribadi alim dan bergaya macam ustad yang akan dalam ilmu agama.oknum DPRD Kampar ini kerap tampil dalam acara keagamaan, mendampingi ustaz kondang, bahkan menjadi ikon program wakaf kitab suci dan kampanye “Riau Mengaji”.

Namun kini, topeng kesalehan itu mulai terkuak. Selain kasus dugaan hubungan gelap dan pemaksaan aborsi, pria tersebut juga disebut-sebut terlibat sengketa hak paten dengan rekan lamanya, yang merasa dikhianati setelah turut membesarkan karier politiknya dan ekonominya.

Skandal ini berpotensi menjerat jabatan  DPRDnya dan berbagai hukum yang akan menjeratnya :

Dalam Pasal 75 dan 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mengatur larangan dan ancaman pidana terhadap aborsi ilegal.

Pasal 285 atau 286 KUHP, apabila ditemukan unsur pemaksaan dalam hubungan tersebut.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), khususnya jika terbukti ada unsur kekerasan psikis terhadap korban.

Kode Etik DPRD, yang bisa menjadi dasar pemecatan melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Pengamat politik dan aktivis perempuan di Riau mendesak agar kasus ini diusut tuntas oleh pihak berwajib. “Jangan hanya karena dia duduk di kursi dewan, korban dibiarkan menderita. Negara harus hadir untuk perempuan yang dilukai,” tegas salah satu aktivis.

Hingga berita ini ditulis, pihak DPRD Kampar belum memberikan keterangan resmi. Sementara itu, Bunga hanya berharap keadilan didapatkan untuk dirinya.

“Saya cuma mau dia bertanggung jawab. Bukan untuk saya, tapi untuk anak kami… yang tak sempat lahir,” tuturnya lirih, menatap kosong ke langit senja sambil meneteskan air mata yang tak terbendung.**

 

 

Sumber : Riauterbit.com