LensaKita.co.id — Ketika era Soekarno pernah ada Kabinet 100 Menteri atau yang dikenal dengan Kabinet Dwikora II dengan jumlah menteri 109 orang. Ini adalah Kabinet yang dirancang untuk merespon kondisi krisis baik di bidang Sosial, Ekonomi, maupun Keamanan paska G-30-S (Gerakan 30 September) tahun 1965.
Dwikora merupakan kepanjangan dari Dwi Komando Rakyat, sebagai respon terhadap pembentukan negara Federasi Malaysia.
Dengan mengobarkan semangat ganyang Malaysia, dalam rapat raksasa pada awal Mei 1964, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwikora atau Dwi Komando Rakyat, yang isinya:
1. Perkuat ketahanan revolusi Indonesia.
2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk membubarkan negara boneka Malaysia.
Kabinet 100 menteri ketika itu dirancang pada situasi krisis dan berlangsung sangat singkat sekitar 1 bulan dari 24 Februari 1966 sampai dengan 27 Maret 1966. Kabinet Dwikora II ini kemudian diganti dengan Kabinet Dwikora III yang hanya berlangsung sampai bulan Juli 1966. (Sumber: Kompas.com). Dalam waktu 5 bulan sudah Ada perombakan kabinet sebanyak dua kali.
Kondisi saat itu tidak semudah sekarang. Tidak gampang mencari kader-kader yang mumpuni, belum banyak para professor, doktor ataupun para ahli di bidang-bidang yang diperlukan. Tidak seperti saat ini yang relatif lebih mudah untuk menggalang para cendekiawan.
Pada situasi yang genting tersebut Soekarno meresponnya dengan jumlah anggota Kabinet yang besar.
Kabinet yang dirancang presiden terpilih Prabowo Subianto (PS) nampaknya akan beranggotakan menteri-menteri yang jumlahnya cukup besar, walaupun mungkin tidak akan lebih dari 100 orang. Hal ini menarik untuk disimak dan dianalisa mengapa diperlukan begitu besar jumlah Menteri dan Wakil Menteri.
Ketika menyiapkan kabinetnya untuk periode 2024-2029, pak PS dihadapkan pada kondisi yang jauh berbeda. Memang masih banyak persoalan yang dihadapi bangsa baik internal maupun eksternal.
Persoalan global menyangkut peperangan yang masih berlangsung di kawasan Timur Tengah (Israel-Palestina) dan antara Russia-Ukraina yang berdampak kepada persoalan global terkait energi dan pangan.
Konflik yang belum diketahui Kapan akan berakhir atau bahkan akan semakin meruncing. Sementara itu kondisi ekonomi dalam negeri masih dihadapkan kepada persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan, serta utang luar negeri yang semakin besar.
Persoalan-persoalan sosial-budaya yang dihadapi ketika pemilu masih menyisakan satu tantangan besar dalam penataan kembali sistem Tata Nilai terkait moral dan etika dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Di dalam pelayanan publik bangsa kita masih dihadapkan kepada wabah korupsi yang sepertinya masih belum bisa teratasi. Oleh karena itu pembenahan dalam Tata Nilai perlu terus didorong.
Hal ini erat hubungannya dengan berhasil tidaknya pembangunan bangsa dan karakter (nation and character building) untuk menyongsong Indonesia yang lebih maju.
Sementara itu Tata Kelola pemerintahan maupun Tata Kelola sistem politik juga masih harus dibenahi. Tata Kelola politik masih jauh dari harapan dan biayanya sangat mahal.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ataupun sebagai Presiden/Wakil Presiden dan Kepala Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) biayanya sangat mahal. Sehingga diperlukan modal yang cukup kuat untuk maju dalam arena pemilihan umum secara langsung.
Banyaknya jumlah partai peserta pemilu juga menunjukkan semakin kompleks dan mahalnya menata demokrasi. Aspirasi yang berbaur dengan kepentingan kelompok atau golongan, baik yang bersifat ideologis ataupun non-ideologis telah mendorong semakin terbiasanya perilaku transaksional dalam menyepakati hal-hal yang bersifat politis.
Kepentingan politik, bisnis, dan birokrasi (pelayanan publik) telah berbaur menjadi satu. Kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan kepentingan umum telah menjadi satu dan sulit untuk dipilah-pilah.
“Akibatnya dalam menyusun Kabinet tidak bisa terlepas dari kondisi ini. Kabinet yang dibentuk akan diwarnai oleh aspirasi-aspirasi tersebut. Sehingga sulit dihindari Kabinet yang “ramping”’dan Kabinet cenderung “gemuk”.
Dengan kabinet yang gemuk lebih terbuka kemungkinan untuk mengadopsi berbagai kepentingan. Kabinet yang gemuk dapat memberi ruang kepada kepentingan partai politik (partai koalisi), putra daerah (alasan kebhinnekaan), kalangan profesional (kebutuhan teknokratis), komunitas sosial kemasyarakatan (kelompok agama, organisasi sosial, dll).
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa kabinet yang “Gemuk” antara lain disebabkan karena beberapa faktor utama:
1. Kemajemukan bangsa (keterwakilan wilayah ataupun etnis) untuk menjawab persoalan ketimpangan dan keterwakilan.
2. Masih banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa (Ekonomi, Politik, Budaya, baik internal maupun eksternal)
3. Sistem banyak Partai dan perlunya melakukan Koalisi politik dalam pemilu,Tutupnya.**
Penulis : Rilis PWMJ-16102024